Minggu, 07 Agustus 2011

Belajar MEMAHAMI (Bertoleransi)


Bulan suci ramadhan atau bagi umat muslim lebih dikenal sebagai bulan puasa itu, telah berjalan 1 minggu tepat ini malam ini. Maka bagi umat non-muslim seperti saya ini, sikap toleransi antar umat beragama sangat diuji oleh Tuhan yang Maha Esa. Namun seringkali dalam usah sikap toleransi antar umat beragama di dunia, khususnya di Indonesia, selalu saja ada batu-batu kerikil yang coba mengganggu. Akan tetapi disinilah kita semua memahami apa yang terjadi.

Berbicara pengertian antaragama, kita tidak bisa melupakan sosok Karen Armstrong. Mantan biarawati asal Inggris ini dikenal sebagai sarjana yang menulis tentang abrahamic religions (Yahudi, Nasrani dan Islam). Seolah-olah, Armstrong menjadi jembatan pengertian antaragama saat ini. Armstrong adalah penulis yang menjadi perhatian dunia. Lebih dari itu, Armstrong memberikan pemahaman yang baik tentang masalah teologi dan sejarah. Kekuatan buku-bukunya, saya kira, terletak pada perspektif sejarah yang mendalam. Ini dapat dilihat dari keberaniannya memberi judul bukunya History of God (Sejarah Tuhan). Dalam buku itu, dia menguraikan secara panjang lebar, bahwa masalah ketuhanan pada akhirnya adalah perspektif kita mengenai Tuhan. Atau bisa juga disebut sebagai kepercayaan menurut istilah para sufi.

Selain itu, Armstrong menulis dengan cara yang simpatik. Penulisannya tentang Islam misalnya, sangat simpatik. Banyak orang yang sudah membaca karyanya kemudian berkomentar bahwa seharusnya Armstrong lebih kritis lagi. Armstrong malah lebih kritis menulis tentang agama Kristen. Misalnya, ketika ia membahas mengenai sejarah Trinitas. Dengan sangat kritis, dia merujuk uraian sejarah yang dalam sekali mengenai konflik-konflik kepentingan yang ada kala itu. Jadi, membaca buku-buku Armstrong memang membangkitkan kesadaran kita bahwa agama itu ada dalam sejarah. Artinya, agama selalu terlibat dalam pergumulan-pergumulan, berwujud kepentingan-kepentingan, konflik ide, dan lain-lain.

Dalam buku Sejarah Tuhan, dia ingin menegaskan bahwa dewasa ini, kepercayaan mengenai Tuhan personal sudah tidak cocok lagi. Dan itu sebenarnya sudah lama disadari agama Yahudi, Islam, dan Kristen Ortodoks. Lebih kurang, sudah terjadi seribu tahun pergulatan antara para teolog dan para mistikus yang mengkritik Tuhan personal. Namun demikian, di kalangan Kristen Barat kesadaran ini baru muncul belakangan, terutama sejak Nietzcszhe yang mengatakan Tuhan sudah mati (God is death). Sekarang, terjadi perdebatan kembali apakah konsep Tuhan personal itu masih bisa dipertahankan atau tidak.

Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Biasanya, lawan Tuhan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal. Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini. Dia menggambarkan panjang lebar pada bab terakhir bukunya, mengenai prediksi masa depan Tuhan. Menurut dia, sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional —sebagaimana dalam teologi selama ini— selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali.

Salam sejarah tuhan – Amstrong, kita akan dapatkan, bahwa agama tidak hanya berisi yang tinggi, yang baik, dan luhur atau gambaran yang indah-indah saja tentang agama. Ternyata, agama juga terlibat dalam kekerasan, pembenaran untuk membunuh sesama, bahkan terkadang agama terlibat dalam terorisme. Armstrong menguraikan itu dalam perspektif sejarah yang cukup panjang. Dimulai sejak pemberangusan kelompok Yahudi di Eropa yang diikuti fenomena hijrahnya Yahudi ke kawasan Dinasti Utsmani waktu itu. Mereka menjadi minoritas tertindas. Armstrong membuktikan bahwa agama memiliki potensi penindasan seperti itu. Maka, Armstrong menyimpulkan selama agama tidak memberi perhatian sungguh-sungguh terhadap masalah kemanusiaan, sejauh itu pula agama akan ditinggalkan dan menjadi tidak relevan.

Dalam setiap agama selalu saja ada salah paham dan prasangka atas agama lain, tiga agama (Yahudi, Kristen, Islam) yang bersumber dari bapak monotheis yang sama yaitu Nabi Ibrahim, dalam kenyataan sejarah, justru paling sering terlibat kekerasan.  Sebab, tiga agama ini lahir dengan etos profetik, agama kenabian. Ini merupakan penyebab utama kebingungan itu. Tapi, dalam perjalanan sejarah, ada istilah sosiologi yang disebut priestly religion, agama yang bersifat kependetaan. Seiring dengan bertumbuhkembangnya organized religion (agama yang terorganisasi), mulailah ada dogma, penilaian atas yang lain, kategorisasi kesesatan, anggapan kafir, klaim kebenaran (claim of truth), klaim keselamatan (claim of salvation) dan lain-lain.

Pada masa pra-modern, pemikiran tentang keabsahan yang lain, dan kemungkinan adanya persamaan jalan, menuju ketuhanan belum ada. Ini yang menjadi gagasan-gagasan pluralisme. Pluralisme merupakan gagasan yang sangat baru. Demikian juga paham toleransi. Dalam sejarah Eropa, toleransi baru muncul seiring dengan keinginan untuk menciptakan kehidupan harmonis antara orang-orang kristen. Ini baru muncul belakangan saja.

Konsep ketuhanan Armstrong yang rumit bisa menggiring pada atheisme dan tidak perlu khawatir akan menjadi atheis. dengan membaca Armstrong justeru akan menambah keimanan. demikian juga Berperang Demi Tuhan – Amstrong, mungkin akan timbul kesan lain lagi. Dari buku itu, kita akan merasakan banyaknya bahaya yang muncul bila agama terlibat dalam kepentingan-kepentingan, politik dan kekerasan. Hemat saya, buku Sejarah Tuhan jangan dibaca sebagai buku teologi, namun lebih sebagai buku sejarah. Dalam buku itu, kita akan mendapat banyak cerita tentang pencarian Tuhan. Contohnya, bagaimana orang Yahudi mencari Tuhan. Jadi dari situ, kira-kira tergambar bahwa konsep ketuhanan itu berevolusi.

Dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap Tuhan itu bersifat gradual karena akan selalu ada pencarian dan perkembangan. konsep ini juga bisa diterima dari sudut pandang Islam. Jadi bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Ada kontinuitas, atau kelanjutan dari nabi sebelumnya, dan ada juga perkembangan (development). Dari sini, kita akan melihat pendekatan lain, yaitu sejarah. Armstrong lagi-lagi berpesan, selagi kita ingin menggambarkan Tuhan secara rasional dan jelas, kita akan gagal total.

Tuhan adalah sesuatu yang tidak bisa dirumuskan sepenuhnya melalui rasio manusia hal tersebut benar adanya tapi manusia juga ingin berbicara mengenai Tuhan. Lalu bagaimana caranya? Manusia berbicara dengan menggunakan metafor ataupun analogi. Lantas, bila manusia tetap ingin menjelaskan Tuhan secara gamblang, dia akan terjerembab ke dalam antroposentrisme. Menurut Armstrong, Tuhan yang kita bicarakan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tapi Tuhan dalam konsep kita. Dan perlu diingat, banyak konsep tentang Tuhan.

Bahwa pemahaman tentang Tuhan itu berevolusi. Sementara, umat beragama menganggap konsep ketuhanan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, jatuh begitu saja ke bumi tanpa proses. Inilah yang perlu kita pelajari dari Armstrong. Dia berusaha mengadakan kritik terhadap teologi. Dia juga mengevaluasi konsep-konsep teologi dalam perkembangan sejarahnya. Ini yang menarik,paling tidak, menjadi pelajaran bagi umat beragama bahwa agama bukan hanya indah tapi juga ada sejarahnya, konteksnya dan selalu berkembang dan juga berubah.

Memang konsep ketuhanan yang mandek bisa memunculkan klaim-klaim kebenaran. Gawatnya lagi, bila muncul pemahaman bahwa kita berbeda sehingga kita berhak untuk mendiskriminasi pemahaman ketuhanan orang lain. Dalam sejarah selalu ada yang begitu. Kalau kita amati, selalu ada doktrin bahwa jalan selamat hanya ada pada agama saya. Semua agama punya masalah seperti itu. Kalau kembalikan ke Alquran sebetulnya masalahnya menjadi mudah. Pada dasarnya, semua agama punya Tuhan yang satu dan sama. Perbedaannya, kata Alquran, terletak pada syariat, menyangkut tata cara ibadah dan lain-lain.

Pada hakikatnya, punya esensi yang sama. Karena itu, yang terpenting dewasa ini bukanlah perdebatan teologis, tapi lebih menyangkut apa makna agama untuk kehidupan. Ini yang lebih penting. Maka dari itu, Armstrong mengaitkan pentingnya relasi agama dengan kemanusiaan. Sejauh agama terlalu strike dalam menggambarkan teologi dan tidak peduli dengan masalah-masalah kemanusiaan, selama itu pula agama akan mengalami krisis. Itulah yang terjadi di kalangan fundamentalis.

Perlu adanya etos untuk belajar agama-agama lain, hal ini menyangkut problem pendidikan keagamaan kita. Guru-guru agama tidak terlatih untuk menerima dan belajar dari pemeluk agama lain. Sebetulnya, ini kembali pada kita. Kitab suci justru memberikan dorongan untuk itu, tapi belum diaktualkan. Ini yang perlu kita pelajari dari dunia modern sekarang. Bahwa pluralisme menjadi sesuatu yang tidak bisa ditolak lagi, sebab ada komunikasi dan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih mudah dijangkau. Contohnya, kita bisa mengerti tentang agama lain dari Armstrong. Jadi tidak masanya lagi kita menganggap yang lain sesat, misalnya. Perlu ada keterbukaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar